Workshop Penulisan Kertas Usulan Draf Peraturan Menteri tentang UPTD PPA
(352 Views) September 3, 2024 9:46 am | Diterbitkan oleh Forum Pengada Layanan (FPL) | Tidak ada komentarForum Pengada Layanan (FPL) sebagai jaringan lembaga layanan berbasis masyarakat dengan 87 anggota di seluruh Indonesia, perlu memastikan peraturan pelaksana UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjawab kebutuhan korban kekerasan seksual. Hingga bulan Agustus 2024, sudah ada 3 peraturan pelaksana yang disahkan, yaitu: 1) Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang Diklat TPKS; 2) Perpres Nomor 55 Tahun 2024 tentang UPTD PPA; dan 3) PP Nomor 27 Tahun 2024 tentang Koordinasi dan Pemantauan Penyelengaraan Pencegahan dan Penanganan Korban TPKS. Selain dapat menjawab kebutuhan korban kekerasan seksual, FPL juga memastikan pelaksanaan Perpres UPTD PPA dapat memperkuat koordinasi antara UPTD PPA dengan lembaga layanan berbasis masyarakat serta keterpaduan layanan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual.
FPL menyelenggarakan Workshop Penulisan Kertas Usulan Draf Peraturan Menteri tentang UPTD PPA pada tanggal 13-14 Agustus 2024, di Hotel Oria, Jakarta, secara hybrid, sebagai salah satu upaya penyusunan kertas usulan/kebijakan untuk bahan advokasi kepada pemerintah terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Workshop ini didukung oleh The Asia Foundation, Yayasan Humanis, dan INKLUSI serta dihadiri sekitar 30 peserta yang terdiri dari anggota FPL, perwakilan dari The Asia Foundation dan Yayasan Humanis, serta Kementerian PPPA.
Workshop ini dibuka oleh Deputi Perlindungan Hak Perempuan (PHP) Kementerian PPPA, Ratna Susianawati. Dalam sambutannya, Ratna menegaskan bahwa pasca terbitnya UU TPKS dan Perpres UPTD PPA, mekanisme kerja UPTD PPA di lapangan perlu didukung dengan Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur pendukung, networking dan memastikan tata kelola baru keterpaduan layanan yang dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual. “Tata kelola baru ini diharapkan memutus proses yang panjang selama ini, sehingga korban tidak underpressure.”, ujar Ratna. Menurut Ratna, saat ini UPTD PPA yang sudah terbentuk ada di 34 provinsi dan 331 kabupaten/kota. “Sekarang UPTD PPA bukan opsional, UPTD PPA itu wajib di daerah, dan akan dikoordinasikan oleh satuan kerja.”, tegas Ratna.
Workshop ini diharapkan mampu menjadi wadah bagi lembaga layanan untuk memberikan masukan substansi Permen UPTD PPA. “Kami mendengar posisi Permen ini masih menunggu ijin prakarsa. Semoga apa yang kita susun ini merepresentasikan kondisi korban, kondisi pendamping, dan situasi layanan berbasis pemerintah dan berbasis Masyarakat.”, ujar Novita Sari, Sekretariat Nasional (Seknas) FPL. Workshop ini menghadirkan narasumber Psikolog, Vitria Lazzarini, dan Peneliti, Bestha Inatsan Asila. Vitria Lazzarini yang akrab disapa Lia, menyampaikan paparan mengenai catatan terkait UPTD PPA dahulu dan terkini pasca terbitnya UU TPKS dan Perpres UPTD PPA. Sedangkan Bestha menyampaikan paparan mengenai kerangka kertas usulan untuk advokasi kebijakan.
Menurut Lia, jika membicarakan UPTD PPA, tidak bisa lepas dari Permen PPPA Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang jadi cikal bakal ragam layanan dan standar. Kemudian berkembang dengan Permen PPPA Nomor 4 Tahun 2018 tentang pembentukan UPTD PPA dengan 6 fungsi layanan. Hingga kini dengan Perpres Nomor 55 Tahun 2024, ada penyesuaian menjadi 11 fungsi layanan. “Kalau dilihat baik-baik, di SPM awal, P2TP2A lebih berperan sebagai penerima pengaduan dan berkoordinasi dengan layanan lainnya. Di Permen 4/2018, ada 6 fungsi layanan yang dikembangkan di beberapa tempat. Ada layanan pengaduan, penjangkauan, penanganan kasus, mediasi, pendampingan korban, dsb. Dengan keluarnya Perpres 55, jadi ada 11 fungsi. Tidak terlalu beda dari 6 layanan, selain layanan mediasi yang sudah tidak ada.”, ujar Lia.
“Pengalaman kami bekerjasama dengan UPTD PPA di Sulawesi Utara dan beberapa UPTD PPA Kabupaten/Kota masih ditemui tantangan dan hambatan akses bagi korban. Ada 60 pulau kecil berpenghuni dari sekitar 200 pulau di Sulawesi Utara. Selain terbatasnya anggaran dan sarana prasarana, juga terbatasnya SDM.”, ujar Mun Djenaan, Swara Parangpuan Sulawesi Utara. Hal ini senada dengan Nuryanti Dewi dari LBH APIK NTB. Menurut Nuryanti, masih ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam mekanisme kerja UPTD PPA khususnya di pulau Lombok. “Ada beberapa UPTD PPA secara sarana prasarana memadai, kantor UPTD-nya bagus, tapi tidak ada SDM. Di Lombok Tengah, sarana prasarana-nya bagus, tapi yang melakukan penjangkauan hingga pencatatan ketuanya semua.”, ucap Nuryanti.
Selanjutnya, Bestha menyampaikan paparan terkait Kerangka Penyusunan Draf Peraturan Menteri. Menurut Bestha, Peraturan Menteri (Permen) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan materi muatan. Ada beberapa hal penting yang terkait erat dengan materi muatan Rancangan Permen (Rapermen), yaitu: 1) peraturan terkait dan dokumen penelitian/advokasi dan panduan internasional; 2) pemetaan masalah dan usulan kondisi; 3) latar belakang dan sasaran yang ingin diwujudkan; 4) arah jangkauan pengaturan; dan 5) analisis kesesuaian dengan peraturan lainnya. “Penyusunan draf versi masyarakat sipil ini justifikasi-nya harus kuat. Mendorong evidence-based policy atau kebijakan berbasis bukti supaya positioning-nya kuat agar lebih didengar, dan juga agar aturan ini menjawab masalah yang ada di Masyarakat.”, ucap Bestha.
Sesi berikutnya adalah menggali usulan bersama yang difasilitasi oleh Susi Handayani, Yayasan PUPA Bengkulu. Peserta diminta bercerita pengalaman dan update situasi UPTD PPA serta rekomendasi untuk perbaikannya di wilayah masing-masing. Kemudian peserta diminta berdiskusi didalam kelompok dan melalukan analisis terkait: 1) tugas dan fungsi UPTD PPA; 2) pengajuan tata cara rujukan; dan 3) standar pelayanan terpadu oleh UPTD PPA Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hasil analisis tersebut kemudian dipresentasikan pada sesi hari kedua.
Sedikitnya ada beberapa tantangan dan masalah yang ditemukan pada bagian tugas dan fungsi UPTD PPA, yaitu: 1) klasifikasi kelas masih bergantung pada struktur organisasi UPTD PPA; 2) belum ada kejelasan mengenai tugas dalam struktur UPTD PPA dalam hal pemberian informasi terkait hak-hak korban, saksi dan keluarga korban dan pemantauan atas pemenuhan hak korban pada setiap tahapan proses di peradilan; 3) Pemenuhan layanan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas belum diatur secara jelas dalam Permen; 4) masih ditemukannya penanganan mediasi di seksi pelayanan hukum perdata; 5) asesmen; dan 6) belum optimalnya petugas UPTD PPA melakukan identifikasi jenis pemberdayaan ekonomi korban pada saat asesmen dan saat korban berproses hukum.
Kemudian pada bagian pengajuan tata cara rujukan, masih ditemukan tantangan dan masalah, yakni: 1) terkait layanan rujukan antar kabupaten/kota, tidak dapat merujuk ke kabupaten/kota lain jika tidak ada layanan di UPTD PPA, dan layanan rujukan dari kabupaten/kota dan provinsi ke layanan rujukan akhir, masih ditemukan kriteria yang salah satunya adalah kasus kekerasan yang viral di media sosial; 2) Persoalan anggaran yang terbatas dialami oleh layanan rujukan baik di tingkat kabupaten/kota hingga provinsi; dan 3) terkait persoalan krusial layanan rujukan berbasis wilayah 3T dan Kepulauan seperti rujukan antar pulau yang membutuhkan biaya yang mahal, estimasi perjalanan yang membutuhkan waktu berhari-hari ke lokasi rujukan, SDM yang terbatas dan sarana prasarana yang minim, serta layanan tes DNA dan visum psikiatrikum yang tidak tersedia, terutama di wilayah kepulauan.
Terakhir, terkait standar pelayanan terpadu yang masih ada tantangan dan masalah, yaitu: 1) kewenangan dan pendekatan penyelenggaraan layanan PPA; 2) mekanisme penyediaan layanan dan fungsinya serta mekanisme komunikasi dan koordinasi; 3) standar operasional prosedur pelayanan terpadu dan mekanisme penyampaian keluhan; 4) pemberian layanan berdasarkan asesmen risiko dan bahaya; 5) ringkasan prosedur pelaksanaan fungsi layanan PPA; 6) kebijakan keselamatan anak serta perlindungan dari eksploitasi dan penyalahgunaan seksual; 7) mekanisme pemanfaatan sistem informasi data.
Workshop ini diakhiri dengan menyepakati rencana tindak lanjut berupa perbaikan dan finalisasi daftar inventarisasi masalah (DIM). Dalam penutupan, Novita Sari, menyampaikan pentingnya pelibatan lembaga layanan dalam penyusunan kebijakan pemerintah, terutama dalam hal ini Rapermen UPTD PPA. “Agar tidak jauh berbeda dari apa yang sudah kita perjuangkan dalam UU TPKS. Advokasi ini kita lakukan agar Kementerian PPPA tahu ini untuk kepentingan korban. Bahwa persoalan yang ditemukan dalam implementasi UU TPKS bergantung dengan peraturan pelaksana ini.”, tegasnya.***