Ratusan Perempuan Tasikmalaya Tuntut RUU Kekerasan Seksual Disahkan
(2368 Views) November 26, 2016 11:26 am | Diterbitkan oleh FPL | Tidak ada komentarSINGAPARNA, (PR).- Ratusan perempuan menggelar aksi longmarch dan teatrikal dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu, 26 November 2016. Mereka mendesak pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Ketua Lembaga Layanan bagi Perempuan dan Anak Yayasan Puan Amal Hayati Tasikmalaya Enung Nursaidah mengungkapkan RUU-PKS itu perlu disahkan karena Indonesia dinilai sudah dianggap darurat kekerasan seksual. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan survey lembaga layanan perempuan dan anak, setiap dua jam, tiga perempuan di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual. Selain itu, bentuk kekerasan seksual juga semakin bervariasi.
“Dari survey kami, ada 15 bentuk kekerasan yang mengancam anak dan perempuan. Namun, yang diakui dalam KUHP dalam perlindungan anak dan trafficking hanya tiga jenis, yakni perkosaan, ekploitasi dan perdagangan manusia,” ucap Enung kepada “PR” seusai memimpin aksi longmarch.
Enung menyebutkan, dalam RUU PKS yang tak kunjung disahkan itu, ada pasal yang mengatur 9 macam jenis kekerasan seksual. Kekerasan itu di antaranya seperti pelecehan seksual, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan seksual, pemaksaan pernikahan, perdagangan, dan kasus kekerasan lainnya. RUU yang sebelumnya sudah masuk pada program legislasi nasional 2016 itu perlu segera disahkan agar penanganan kasus kekerasan seksual bisa mendaparkan kepastian hukum.
“Selama ini kasus perkosaan walaupun ada KUHP kenyataanya korban susah melakukan proses hukum. Pembuktiannya susah, apalagi jika pelakunya pacar. Jadi korban justru yang disalahkan, karena definisi dari perkosaanya juga masih global,” kata Enung.
Menurut Enung, jika RUU PKS tersebut disahkan, korban kekerasan pada anak dan perempuan tak hanya mendapat hak kepastian hukum, namun juga mendapatkan jaminan hak pemulihan yang seharusnya didapatkan oleh korban.
“Intinya UU kekerasan seksual bisa melindungi korban. Kalau di UU lain tidak ada unsur hak pemulihan bagi korban, padahal selesai proses hukum, korban itu butuh pemulihan untuk menghilangkan trauma,” ucap Enung. ***
http://www.pikiran-rakyat.com/