MenuPilih Menu
Beranda » Berita Media » Perempuan Pembela HAM Deklarasikan Enam Poin Komitmen

Perempuan Pembela HAM Deklarasikan Enam Poin Komitmen

(2519 Views) February 28, 2019 7:33 pm | Diterbitkan oleh | Tidak ada komentar

Para perempuan pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), yang tergabung dalam Perempuan Pembela HAM (PPH), mendeklarasikan enam komitmen, dalam Jambore Nasional PPH di Rumah Retret Panti Samadi Nasaret Jalan Dr Wahidin, Tanah Putih, Rabu (27/2).

Kegiatan yang diinisiasi Forum Pengada Layanan (FPL) itu, dihadiri 30 perempuan yang tergabung dalam komunitas dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Papua, Aceh, Padang, Cirebon, Batam, Bali, Jakarta, Bandung, Bengkulu, Surabaya, Jombang, Medan, Solo, Deli Serdang, Yogyakarya, Semarang, dan beberapa wilayah lain. ”Ini merupakan jambore kedua. Selama tiga hari, kami menyampaikan beberapa hal terkait tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi selama mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan atau selama bekerja di komunitas masing-masing,” papar Koordinator Sekretariat Nasional FPL, Veni Siregar.

Dia menambahkan, selama mendampingi kasus, para perempuan ini rentan terhadap ancaman dan kekerasan. Bahkan acaman tersebut tidak hanya membayakan diri sendiri, tetapi juga kerabat dan keluarga. Jenis-jenis kekerasan yang ditangani meliputi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, dan isu lingkungan yang justru mengkriminalisasisan para perempuan pejuang HAM. Adapun enam butir komitmen yang dideklarasikan yakni terus bekerja bersama masyarakat untuk membela hak-hak perempuan korban kekerasan, mendorong tercipta ruang aman dan penguatan jaringan solidaritas antar PPH, mendorong tanggung jawab negara untuk memenuhi hak-hak PPH atas perlindungan, jaminan sosial dan keamanan.

Selanjutnya, PPH juga berkomitmen mendorong rumusan kode etik pembela HAM yang peka gender, pemberdayaan dan penguatan ekonomi, kesejahteraan dan pemulihan bagi pembela HAM. Pada butir kelima, PPH mendorong lahirnya kebijakan daerah dan nasional yang menjamin perlindungan hukum bagi pembela HAM.

Dilanjutkan dengan butir keenam, mendorong kampanye publik untuk pengakuan terhadap PPH. Salah satu peserta dari LBH Apik Aceh, Badriah Atalip menceritakan pengalamannya selama mengangani kasus kekerasan. Tindakan diskriminatif muncul ketika dia mendampingi kasus-kasus pelanggaran HAM. ”Hambatan paling banyak muncul ketika penanganan kasus kekerasan seksual, yakni saat penyelidikan ke kepolisian. Psikolog jarang ada di Aceh. Apalagi korban jarang mau melapor. Akibatnya jumlah pelanggarannya melonjak drastis,” katanya.

Tak hanya itu, keaktifannya dalam memperjuangkan HAM, juga berdampak ada keamanan keluarganya. Anaknya pernah menjadi korban pemukulan suatu oknum karena beberapa kasus yang didampinginya. ”Pelaku selalu mencari PPH yang mendampingi korban-korban. Mereka mengancam keluarga dan kerabat dekat,” jelasnya. (res-42)

Sumber: suaramerdeka.com

Kategori: