Pegiat Hak Perempuan Desak Pemerintah Segera Bahas RUU
(1989 Views) November 25, 2016 11:01 am | Diterbitkan oleh FPL | Tidak ada komentarPADANG – Pendampingan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan masih menghadapi banyak kendala. hal itu menyulitkan dalam mengungkap suatu kasus yang dialami perempuan. Kendala akan menjadi lebih berat lagi ketika pendampingan dilakukan untuk korban penyandang disabilitas.
Hal itu terungkap dalam dialog beberapa organisasi pegiat hak-hak perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat, Jumat (25/11). Beberapa organisasi pegiat hak perempuan yang hadir antara lain dari Nurani Perempuan, Komisi Nasional Perlindungan Perempuan, Forum Pengadaan Layanan (FPL) dan lainnya.
Kedatangan para pegiat hak-hak perempuan tersebut ke gedung dewan adalah dalam rangka mendukung pembahasan Rancangan Undang – Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual. Kegiatan ini sendiri merupakan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKtP) yang digelar dari 25 November hingga 10 Desember 2016.
Abe, pendamping dari Nurani Perempuan menceritakan, pernah melakukan pendampingan terhadap seorang perempuan dewasa penyandang disabilitas di Kota Padang. Namun, berbagai kesulitan ditemui mulai dari melakukan pelaporan sampai kepada kesulitan komunikasi dengan korban, karena kebetulan korban yaang didampingi adalah disabilitas penyandang tuna rungu.
“Ini baru bagian kecil dari kesulitan yang dihadapi dalam mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan,” ungkapnya.
Direktur Nurani Perempuan Women’s Crisis Center (WCC) Sumatera Barat Yefri Heriani mengungkapkan, gerakan K16HAKtP merupakan kampanye rutin dalam rangka menggalang solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Tindak kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual semakin hari semakin meingkat.
Menurutnya, laporan perempuan korban kekerasan yang datang ke Nurani Perempuan WCC tiga tahun terakhir (2013 sampai 2015) menunjukkan bahwa 44 persen dari kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual.
“Tahun 2015, 52 persen korban yang melapor adalah perempuan korban kekerasan seksual. Ini tidak saja terjadi pada anak perempuan tetapi 34 persen diantaranya terjadi pada perempuan dewasa,” ujarnya.
Untuk itu, gerakan tersebut sekaligus sebagai upaya mendorong pemerintah untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2017. Yefri meminta, gerakan tersebut mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat terutama DPRD.
Anggota Komisi I DPRD Provinsi Sumatera Barat Komi Caniago yang menerima kedatangan organisasi pegiat hak-hak perempuan tersebut mengungkapkan keprihatinan atas tindak kekerasan terhadap perempuan. Dia sangat mendukung penegakan hukum yang maksimal dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh penegak hukum.
“DPRD akan menyuarakan aspirasi yang disampaikan ini melalui jalur politik ke DPR dan kepada pemerintah pusat. Intinya, kami sangat prihatin dengan tindak kekerasan terhadap perempuan dan mendukung penegakan hukum yang maksimal oleh penegak hukum,” kata Komi.
Dia berpendapat, untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan dibutuhkan aturan yang tegas dan sanksi hukum yang berat serta penegakan hukum yang maksimal. Dengan demikian, akan menimbulkan efek jera terhadap para pelaku dan menjadi pembelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. (feb)
Sumber: http://padangmedia.com